Asa Penjual Nasi Kucing
Yanto adalah seorang pelajar yang baru saja lulus dari bangku SMA. Namun,
setelah lulus ia justru bingung apakah langsung bekerja, atau melanjutkan
pendidikannya. Secara ekonomi, keluarga Yanto berkehidupan pas-pasan. Kedua
orang tua Yanto hanya bekerja serabutan. Yanto ingin sekali bekerja untuk
memperbaiki perekonomian keluarga. Tapi, dalam hati kecilnya terbesit sebuah keinginan
yang sangat kuat untuk melanjutkan pendidikan demi keberhasilan cita-citanya
menjadi seorang guru.
Dengan modal nekad dan tekad, ia memutuskan untuk mendaftar beasiswa
di salah satu perguruan tinggi di Semarang. Ia mengutarakan keinginannya
tersebut kepada orang tuanya. Namun, orang tuanya selalu mengatakan dari mana
ia akan membiayainya. Tetangganya juga banyak yang mencibirnya dan mengatakan
bahwa ia tidak mungkin bisa lulus menjadi seorang sarjana.Tak kenal lelah,
Yanto selalu meyakinkan orang tuanya bahwa ia pasti bisa membiayai kuliahnya
dengan jalan apapun. Ia yakin bahwa dimana ada kemauan dan tekad yang kuat,
Allah pasti akan memberi jalan kemudahan dan keberhasilan.
Beberapa hari berselang, Yanto mendapat kabar bahwa ia diterima di
perguruan tinggi. Untuk dapat mengambil beasiswanya tersebut, ia harus
menyelesaikan administrasi sebesar Rp 6 juta. Orang tuanya sudah mengusahakannya, namun
hanya terkumpul sebanyak Rp 1,5 juta. Ia tahu bahwa uang yang ia punya masih
jauh dari kata cukup. Berbekal tekad dan doa orang tua, Yanto pun memutuskan
pergi ke Semarang seorang diri untuk menyelesaikan administrasi.
Setibanya di Semarang, ia tak tahu apa yang harus ia lakukan untuk
mendapatkan tambahan uang. Sedangkan pendaftaran akan ditutup pukul 14.00 WIB.
Waktu telah menunjukkan pukul 10.00, namun Yanto masih belum menemui jalan
terang. Ia sudah berusaha untuk menelpon saudarannya yang berada di luar kota.
Namun jawabannya selalu sama. Tak punya, tak punya, dan tak punya. Ia pun
sempat berkecil hati, apakah ia dapat membayar administrasi tersebut.
Waktu terus berlalu. Tak terasa matahari sudah berada tepat diatas
tubuh Yanto. Menunjukkan bahwa waktu administrasi akan segera berakhir. Tiba-tiba, teleponnya berdering.
Ternyata itu adalah salah seorang kakaknya yang berada di Bogor. Dengan penuh
harap, ia pun mengangkatnya.
“Assalamu’alaikum
kak, ada apa?”, sapa Yanto.
“Wa’alaikumsalam
to. Kamu sudah dapat uang?”, tanya kakak.
“Belum
kak, sedangkan waktu pembayarannya akan segera ditutup.”, jawab Yanto.
“Begini
to. Kakak baru saja mendapat order untuk membangun pagar Masjid Kubah Emas dan
kakak sudah dikirimi DP sebesar Rp 25 juta. Kamu cepat pinjam rekening sama
orang dan kakak akan kirim uangnya.”, ujar kakak.
“Alhamdulillah
Ya Allah….Baik kak, saya akan cari. Assalamu’alikum.”, sahut Yanto.
“Wa’alaikumsalam.”,
tutup kakak.
Yanto pun langsung bergegas mencari
orang yang mau meminjamkan rekening. Namun, hal tersebut sangatlah sulit
dilakukan di kota besar. Yanto bisa saja dicurigai akan berbuat jahat. Pantang
menyerah, ia terus berusaha mencari. Hingga sampai ia bertemu dengan seorang
tukang becak di pinggir jalan.
“Ada
apa Nak, kelihatannya kok bingung?”, tanya tukang becak.
“Saya
sedang mencari orang yang mau meminjamkan rekeningnya pada saya. Rekening itu
saya gunakan untuk mengambil uang yang akan dikirim kakak saya untuk membayar
kuliah, Pak.”, jawab Yanto.
“Oh,
kebetulan saya punya Nak. Mari saya antar ke Bank sekarang.”, sahut tukang
becak.
“Alhamdulillah,
terima kasih banyak pak.”, jawab Yanto.
Ia langsung memberitahu nomor
rekening tersebut pada kakaknya. Dan beberapa saat kemudian, ia pun dapat
mengambil uangnya. Yanto lantas pergi ke tempat pembayaran administrasi dengan
ditemani tukang becak yang baik hati tersebut. Disana ia sempat merasa sedih.
Temannya banyak yang diantar orang tua masing-masing dengan memakai pakaian
yang menarik. Namun, Yanto justru diantar oleh seorang tukang becak yang tidak
ia ketahui. Tapi, Yanto sangat bersyukur dan masih tidak percaya kalau ia mampu
membayar administrasi.
Masalah pun muncul lagi. Setelah
membayar administrasi, sekarang ia bingung harus tinggal dimana. Untungnya,
tukang becak yang baik hati itu menawari Yanto untuk tinggal di rumahnya untuk
beberapa saat. Yanto pun menerima tawaran baik itu.Sambil berbincang, Yanto dan
tukang becak itu pun pulang dengan wajah sumringah.
“Terima
kasih Pak. Anda sudah banyak membantu saya.”, kata Yanto.
“Tidak
apa Nak. Itu kan sudah kewajiban kita untuk saling membantu. Oh ya, dari tadi
belum kenalan. Nama adik siapa?”, tanya tukang becak.
“Nama
saya Yanto Pak, saya dari Jepara. Bapak namanya siapa?”, tanya Yanto.
“Nama
saya Rahman. Saya sebenarnya orang Sumatera, namun saya, istri dan kedua anak
saya tinggal di daerah Pasar Johar.”, jawab Pak Rahman.
“Iya
Pak. Ngomong-ngomong, apakah anak bapak masih bersekolah semua?”, tanya Yanto.
“Alhamdulillah
Nak. Yang paling kecil masih duduk di kelas 3 SMP. Sedangkan kakaknya masih
meneruskan beasiswa S2nya di Australia.”, jawab Pak Rahman.
“Subhanallah….Anak
bapak sungguh beruntung.”, ujar Yanto
Dalam hatinya ia semakin yakin bahwa
Allah pasti akan menolong dan memberi jalan bagi hambanya yang mau berusaha.
Setelah beberapa hari tinggal di rumah Pak Rahman, Yanto memutuskan untuk
mencari tempat kost. Namun, ia tak tahu dari mana ia harus membayar biaya kos
dan kebutuhannya. Sebab beasiswa yang ia terima hanya untuk biaya kuliah.
Akhirnya, ia memutuskan untuk menjajakan nasi kucing . Sebuah pekerjaan yang
berat dan identik dengan begadang.
Perjuangan Yanto belum usai. Setiap
hari ia harus melangkahkan kaki sejauh 1 kilometer menuju kampus. Dengan
ditemani sepotong roti, ia hanya bisa memandangi kendaraan yang lalu lalang.
Dalam pikirnya ia berucap, kapan ia
dapat memilki kendaraan seperti teman-temannya. Namun, ia tetap bersyukur masih
diberi kekuatan untuk menghadapi anugerah dan cobaan yang diberikan kepadanya.
Setiap hari selepas dari kampus, ia selalu menjajakan nasi kucingnya
di pinggir jalan. Ia buka sejak pukul 16.00 sampai pukul 02.00 dinihari, dan ia
hanya tidur selama dua jam sampai pukul 04.00. Setelah itu, ia harus menjalani
kewajiban menuntut ilmu di kampus dengan sayup mata dan wajah yang pucat. Rutinitas
itu ia jalani selama menjadi mahasiswa dengan sabar dan ikhlas. Terlebih banyak
teman dan dosen yang mendukung kerja keras dan usaha Yanto.
Setiap kali dosennya menyuruh untuk
membeli buku mata kuliah, dipikiran Yanto hanya terbesit sebuah khayalan kapan
ia dapat membeli buku seperti teman-temanya yang lain. Ia hanya bisa meminjam
buku dari temannya untuk ia fotocopy. Sehingga semua buku yang Yanto miliki,
kesemuanya dalam bentuk fotocopy.
Selama bertahun-tahun di bangku
kuliah, Yanto hanya mempunyai sepasang sepatu butut berwarna putih yang
senantiasa mengiringi perjuangannya. Alhasil, setiap ia ditunjuk untuk mengikuti
upacara proklamasi, ia pun harus memberanikan diri untuk meminjam sepatu hitam
bertali kepada penjaga kampus.
Kehidupan yang berat itu Yanto jalani dengan sabar dan ikhlas. Tak
pernah sedikitpun ia mengeluh dengan keadaannya. Dipikirannya hanya bersyukur,
bersyukur, dan bersyukur.
Tak terasa, masa kuliahnya menginjak penyusunan skripsi. Dalam
proses penyusunannya, ia lebih memilih untuk didampingi oleh ketua jurusan dan
dekan fakultas. Alasannya, keduanya pasti selalu berada di kampus. Sedangkan
jika ia memilih pembimbing yang lain, ia tidak punya biaya dan kendaraan jika
harus wara-wiri ketempat pembimbing.
Perjuangan Yanto tidak sia-sia. Dari sekian banyak mahasiswa yang
satu angkatan dengannya, hanya satu mahasiswa yang lulus dengan skripsi
diterima tanpa revisi sedikitpun. Dan mahasiswa itu adalah Yanto. Yanto pun
sangat bersyukur atas prestasi yang ia capai. Selang beberapa hari, Yanto
mengikuti wisuda dengan penuh rasa haru. Ia masih tak percaya bahwa ia telah
menyelesaikan masa kuliah dan menjadi seorang sarjana.
Beberapa minggu berlalu.Yanto berkeinginan untuk mengikuti beasiswa
S2 di Amerika. Saat tahap seleksi, Yanto ternyata masuk salah satu yang lolos.
Ia kembali harus menyelesaikan administrasi untuk mengambil beasiswanya. Namun,
kali ini ia memutuskan untuk tidak mengambil beasiswa tersebut. Hal itu
dikarenakan ia tak punya cukup uang untuk menyelesaikan administrasi yang
sangat besar itu. Ia hanya dapat mengubur keinginannya untuk melanjutkan kuliah
S2 nya di luar negeri itu.
Waktu terus berlalu, Yanto memutuskan untuk kembali ke kampung
halaman. Yanto berhasil membuktikan kepada tetangganya, bahwa omongan mereka
tak benar adanya. Setelah itu, Yanto pun melamar menjadi seorang guru di sebuah
sekolah swasta di daerahnya. Tanpa proses panjang, ia langsung diterima sebagai
guru. Akhirnya dengan tekad dan usaha yang keras, seorang penjual nasi kucing
itu dapat mewujudkan cita-cita mulianya untuk menjadi seorang guru.
Comments
Post a Comment