Indahnya Pluralisme, Modal Integrasi Bangsa

Penerimaan kemajemukan dalam paham
pluralisme merupakan suatu yang mutlak dan tidak dapat ditawar lagi. Menerima
kemajemukan berarti menerima adanya perbedaan. Menerima perbedaan bukan berarti
menyemaratkan, tetapi justru mengakui adanya hal-hal yang tidak sama. Hal ini
merupakan konsekuensi dari kemanusiaan. Manusia pada dasarnya adalah makhluk
sosial yang mempunyai harkat dan martabat yang sama, serta tujuan atau
cita-cita hidup yang sama, yaitu hidup damai sejahtera lahir dan batin. Namun
di lain sisi, manusia berbeda satu sama lain, baik secara individual maupun
komunal, dari segi eksistensi, dan juga tata hidup.
Sebagai negara kepulauan terbesar, struktur
sosial masyarakat Indonesia yang majemuk memiliki dua ciri utama. Pertama,
secara horizontal kemajemukan masyarakat Indonesia dihasilkan oleh adanya
perbedaan etnis, ras, adat dan budaya, dialek bahasa, bahkan agama Hampir semua
wilayah Indonesia secara geografis, etnis, kultur, dan agama tampak heterogen.
Dalam hal ini, tingginya tingkat kemajemukan secara horizontal dapat memperkaya
aspek budaya Indonesia. Dimana, karakteristik kemajemukan horizontal ini dapat
mengintegrasi dominasi budaya pluralistik di Indonesia dalam satu kesatuan
toleransi. Kedua, secara vertikal yang tampak pada adanya perbedaan
vertikal antara golongan lapisan atas dan lapisan bawah yang memiliki
ketimpangan yang sangat tajam. Model struktur majemuk masyarakat secara
vertikal ini cenderung didominasi oleh faktor ekonomi.
Dalam
perkembangannya, secara sosio-historis menunjukkan bahwa keberadaan sebagai
negara yang majemuk/pluralistik ibarat “dua mata pisau”. Disatu sisi,
kemajemukan yang ada merupakan modal kekuatan, namun di sisi lain dapat menjadi
sebuah kelemahan. Dengan kata lain, kemajemukan dapat menjadi “modal” integrasi
bangsa, dan dapat pula menjadi “sumber” desintegrasi atau pemecah belah. Semua
itu tergantung bagaimana masyarakatnya menyikapi perbedaan dan kemajemukan yang
ada. Menganggapnya sebagai pembeda dengan yang lain, atau justru sebagai sarana
untuk bersatu membangun kekuatan sebagai bangsa yang besar. Integrasi bangsa merupakan usaha dan
proses mempersatukan perbedaan perbedaan yang ada pada suatu negara sehingga
terciptanya keserasian dan keselarasan secara nasional. Sehingga, dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, integrasi nasional sangat mutlak diperlukan.
Sebagai
negara yang memiliki tingkat kemajemukan tinggi, bangsa Indonesia sudah
seharusnya memanfaatkannya sebagai sumber kekuatan dan integrasi bangsa. Jangan
sampai sikap primordial dan kesukuan justru didewakan dan akan memecah belah persatuan bangsa ini.
Sebagai modal integrasi, pluralisme budaya dan agama di sejumlah negara
tampak menjadi suatu kekuatan bangsa. Untuk skala internasional, seperti
Singapura, India, dan Malaysia, dapat dikatakan pluralistik merupakan suatu
keunggulan, kendatipun tidak berarti konflik etnis dan internal tidak pernah
terjadi, tapi dibandingkan dengan Indonesia jauh lebih rendah intensitasnya.
Seringkali
konflik dinamika sosial-politik bertalian dengan pluralisme budaya berujung
pada terjadinya berbagai konflik sosial bernuansa etnis, politik, budaya, dan
agama di berbagai wilayah Indonesia. Sebenarnya, konflik yang paling banyak
terjadi di Indonesia adalah adanya kekerasan atas nama agama dan gerakan
separatis. Seperti kasus Poso di Sulawesi Tengah, kasus Sampit di Kalimantan
Tengah, dan kasus-kasus separatisme (gerakan pemisahan diri) seperti GAM di
Aceh, RMS di Maluku, OPM di Irian Jaya, dan Timor-Timor (sudah merdeka).
Jika
kita tilik lebih jauh dan mendalam, seperti pada kasus kerusuhan yang bernuansa
etnis pada tahun 1998, yakni konflik sosial antara etnis pribumi dan keturunan
Cina (Tionghoa) sesungguhnya terjadi karena adanya krisis moneter dan ekonomi
yang tak terkendali, yang kebetulan etnis Tionghoa kala itu lebih mendominasi
ekonomi nasional. Sehingga, perlu dicatat bahwa, yang melatarbelakangi kasus
kerusuhan etnis itu bukan pluralisme tetapi ketimpangan sosial, ekonomi dan
politik. Sama halnya dengan kasus separatisme di sejumlah daerah sebetulnya
tidak terlepas dari ketimpangan kekuasaan dan pembangunan antara “pusat” dan
“daerah”. Masyarakat di daerah cenderung berpikir bahwa kekayaan negara hanya
digunakan di Jakarta secara tidak adil. Sebagai konsekuensi dan bentuk
perlawanan, maka mereka mengancam memisahkan diri dari NKRI.
Jelas,
bahwa konflik bernuansa etnis dan agama yang memperlemah kekuatan/integrasi
bangsa selama ini, lebih disebabkan oleh faktor ketimpangan sosial, ekonomi,
dan politik, bukan kemajemukan bangsa. Faktor pluralistik atau kemajemukan
bukan permasalahan yang sesungguhnya tetapi hanya “faktor pemicu”. Jadi,
disinilah diperlukan langkah-langkah nyata yang mampu mengubah kemajemukan
bangsa menjadi sebuah modal kekuatan dan integrasi nasional.
Dalam
kehidupannya yang penuh kemajemukan, bangsa Indonesia telah memiliki prinsip
yang tepat, yakni “Bhinneka Tunggal Ika”. Prinsip ini memberikan arti bahwa
perbedaan bukanlah sebuah penghalang dan perusak persatuan, melainkan salah
satu modal integrasi bangsa yang harus disadari oleh segenap masyarakat
Indonesia. Perbedaan bukanlah alasan untuk memperbesar jarak diantara sesama,
akan tetapi sarana untuk bersama dengan yang lain membangun kekuatan bangsa. Perbedaan
janganlah dipandang sebatas pilihan atau ‘ethic of interest’, melainkan
dalam persepektif perbedaan sebagai pemberian atau ‘ethic of dignity’.
Dalam menyikapi kemajemukan yang bernilai
positif dan merupakan rahmat dari Allah kepada bangsa kita, salah satu sikap
yang harus dikedepankan di dalam kemajemukan itu adalah tasamuh atau toleransi.
Sikap tasamuh sangat diperlukan untuk mengikis adanya primordialisme dan
kesukuan. Menghargai dan memahami substansi perbedaan dengan niat menemukan
kebenaran dan persinggungan mutlak dilakukan dengan saling membuka diri dan
membuka hati agar tidak salah tafsir dalam memahami perbedaan dan kemajemukan
dari berbagai perspektif.
Selain kesadaran warga, pemerintah
juga harus berperan dalam mendorong kemajemukan sebagai modal integrasi.
Pemerintah dituntut tidak hanya mempertahankan kebebasan dan persamaan hak yang
telah dirintis oleh Gus Dur dan diteruskan oleh Megawati dan SBY, tetapi juga
terus mengembangkan semangat saling menghargai dan menghormati sesama warga
Indonesia. Pemerintah Jokowi kini harus terus berjuang menjadikan indahnya kemajemukan
bangsa Indonesia ini sebagai modal integrasi dan kekayaan bangsa, bukan sebagai
sumber konflik. Jangan lagi terjadi di negeri ini sikap diskriminasi, saling
mencurigai, dan saling menyerang atas nama perbedaan.
Comments
Post a Comment